Lanjut ke konten

Pembangunan dan Demokrasi Harus Punya Manfaat Nyata bagi Rakyat

20 Februari 2010

MESKI demokrasi dan pembangunan merupakan dua hal yang berbeda, namun kedua konsep itu saling terkait. Hal ini dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat meresmikan pembukaan Bali Democracy Forum II di Grand Ballroom, Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, Kamis (10/12).

‘’Pembangunan tanpa demokrasi akan timpang. Sebaliknya demokrasi tanpa pembangunan akan hampa. Dengan demikian, demokrasi dan pembangunannya adalah dua proses yang dapat saling memperkuat,’’ kata SBY.

Presiden SBY juga menyampaikan beberapa pemikiran mengenai demokrasi dan pembanguanan. ‘’Pertama, baik demokrasi maupun pembangunan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin dan pejabat pemerintahan. Setiap pemimpin yang mendapatkan mandat dari rakyat harus bekerja sangat keras untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat, melalui wahana demokrasi dan pembangunan. Inilah esensi dari tata kelola pemerintahan yang baik,’’ ujarnya.

Kedua, apa pun sistem politiknya, pembangunan dan demokrasi harus memberikan ruang bagi partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang berpengaruh pada kehidupan mereka. ‘’Setiap masyarakat di mana pun selalu mempunyai harapan, aspirasi, dan pilihan. Tugas para pemimpin, baik di pemerintahan maupun parlemen, adalah mencari cara yang terbaik untuk menangkap aspirasi dan harapan rakyat dan selanjutnya berjuang dan berupaya untuk memenuhi harapan itu.’’

Ketiga, SBY menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan politik. Jangan sampai yang satu tumbuh terlalu jauh melampaui yang lain karena akan menimbulkan ketidakpuasan dan instabilitas. ‘’Di waktu yang lalu, Indonesia pernah mengalami situasi seperti itu. Melalui demokrasi, pembangunan menjadi inklusif dan adil. Melalui pembangunan, demokrasi menjadi lebih stabil dan berkesinambungan,’’ tuturnya menambahkan sebagaimana dilansir situs resmi kepresidenan.

SBY pun mengajak semuanya untuk mengingat betul bahwa baik pembangunan maupun demokrasi mesti menghasilkan manfaat yang nyata bagi rakyat. Manfaat yang luas, adil, dan merata. Di sisi lain, demokrasi dan pembangunan pada intinya juga merupakan proses pemberdayaan. Pemberdayaan untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama pemberdayaan bagi mereka yang lemah, kecil, terpinggirkan dan terbelakang.

Pada akhirnya, kata SBY, esensi dari demokrasi dan pembangunan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. ‘’Baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai insan sosial,’’ tuturnya.

Nanang R. Parlindungan

Sumber : Nasional – Tabloid Forsas / Edisi 8 – Desember 2009

Tantangan Peran di Pentas Global

20 Februari 2010

Tahun 2010 dan sesudahnya diperkirakan memberikan tantangan cukup serius bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan luar negerinya, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif yang bersinggungan dengan agama –seperti rencana Uni Eropa membagi Jerusalem antara Palestina dan Israel, konflik Afghanistan yang di bawah tanah sudah meluas ke Pakistan dan ditindaklanjuti Presiden Barack Obama dengan menambah 30 ribu personel pasukan ke Afghanistan. Pada tataran lain, isu menyangkut program nuklir Iran yang terus bergulir. Juga, masalah TKI di luar negeri, pengungsi, iklim, dan lainnya.

Pengamat Politik FISIP UI, Kamaruddin, M.Si, mengatakan, mulai banyaknya masalah politik  internasional yang bertalian dengan isu-isu agama, lebih jauhnya adalah Islam, memang mengkhawatirkan.  Menurut dia, Indonesia memang mengembangkan pemikiran Islam yang inklusif, namun –harus diingat— kebijakan politik luar negeri Indonesia adalah representasi dari politik domestik.

‘’Misalnya, mengemukanya isu politik adanya rencana Uni Eropa membagi Jerusalem antara Palestina dan Israel. Apa pun kondisi politik di Palestina tersebut, jelas Indonesia berpihak pada Palestina. Ini adalah sikap dasar kebijakan politik luar negeri kita,’’ ujarnya.

Dia mengingatkan, soal agama pada perpolitikan dunia bukan suatu hal yang muncul tiba-tiba. Contohnya adalah Perang Salib. Lalu, dulu di Timur Tengah bangsa Yahudi meyakini bahwa nabi akhir zaman berasal dari kalangan mereka. Ternyata, nabi akhir zaman berasal dari bangsa Arab. ‘’Bangsa Yahudi tidak bisa menerima sepenuhnya kenyataan itu, kemudian memunculkan stigma idelogis yang secara faktual tidak hilang dan itu terus terjadi,’’ kata Kamaruddin menguraikan.

Namun kini Barat juga terus berupaya untuk memandang Islam tidak merupakan sebuah idelogi an sich. Mereka terus membuka dialog dengan kalangan Islam, sehingga di antara mereka sudah ada yang bersikap open-minded dengan Islam. Begitu pula dengan Islam yang dalam ajarannya juga menyebutkan dengan tegas dan jelas, bila terjadi permasalahan dalamsocial relations dengan yang tidak seagama, maka hendaknya diselesaikan dengan cara-cara yang baik.

‘’Kedua pihak sesungguhnya sudah punya modal dasar untuk membangun kesepahaman. Walaupun kita tidak boleh lupa, bahwa dua pihak tadi, memiliki  kubu yang dapat dikatakan sebagai garis keras. Kubu garis keras itu melihat persoalan yang muncul secara apa adanya dan kaku. Unsur ini yang menyebabkan konflik internasional berbau agama sulit hilang,’’ ujar Kamaruddin.

Soal Afghanistan, Kamaruddin menilai kebijakan politik luar negeri AS tidak konsisten. Deplu AS, sesuai yang dikemukakan Menlu Hillary Clinton, tengah mengganti kebijakan dari pendekatan militeristik dengan pendekatana smart power. Pendekatan smart power yang dalam mempersuasi melalui pendekatan sosial, budaya, dan pembangunan kesepahaman.

‘’Ternyata yang digaungkan pada awal kepemimpinan Presiden Barack Obama melalui smart power itu tidak secara konsisten dilanjutkan,’’ kata Kamaruddin.

Sementara itu, Zainuddin Djafar, Ph.D, Dosen Hubungan Internasional FISIP UI, menilai Indonesia pasti masih memilih langkah-langkah yang ‘’tidak meledak-ledak’’ dalam menyikapi isu-isu politik di tingkat internasional yang mengarah kepada isu-isu sensitif yang bersinggungan dengan agama.

‘’Di samping itu, isu-isu politik yang bersinggungan dengan masalah agama adalah sensitif bagi Indonesia yang jumlah penduduk muslimnya besar. Kecenderungan pemerintah kita dengan pihak negara-negara Barat masih besar, sehingga tidak mau berseberangan dengan mereka. Apalagi utang Indonesia ke mereka masih banyak. Politik luar negeri kita ke barat adalah konsultatif,’’ ucap Zainuddin.

Dia meyakini Indonesia tidak akan mengambil langkah yang lebih ofensif meskipun ada sarana organisasi internasional, semisal  PBB, ASEAN, OKI (Organisasi Konferensi Islam), atau  G-20. Mengapa begitu?

‘’Karena politik dalam negeri kita masih mengkhawatirkan. Masyarakat asing melihat kondisi Indonesia ini khawatir. Coba lihat pernyataan Jefrry Winters, Indonesianis dari AS itu. Ia bisa menjadi salah satu  terompet ke berbagai pihak di luar negeri, keadaan Indonesia saat ini tidak kondusif,’’ tutur Zainuddin.

Dia menilai masuknya Indonesia ke G-20 bukan berarti politik luar negeri Indonesia berada di atas angin. Berbagai kalangan justru berpandangan masuknya Indonesia ke G-20 itu sebagai ‘’hadiah’’ agar Indonesia memperbaiki diri.

Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif dengan berpatokan pada tiga hal, yaitu menjunjung moral obligation, non-intervention, serta menjunjung tinggi kedaulatan negara. Karena itu, Indonesia bermain di semua forum internasional, tetapi tidak mungkin bermain sampai jauh sekali.

‘’Kita ini safety player. Apalagi keadaan stabilitas politik dalam negeri seperti sekarang ini. Langkah – langkah  politik  luar negeri seperti  sekarang ini memang tidak hidup dan kurang baik juga karena terlalu banyak frekuensi politiknya dari pada porsi ekonominya. Perlu ada target-target tertentu. Masuknya Indonesia ke G -20, apa ada target? Orientasi kesejahteraan yang diperjuangkan seperti apa? Kita juga dalam membuat kebijakan luar negeri harus mengacu pada Pasal 33 UUD 1945. Masyarakat yang tidak mampu yang masih banyak jumlahnya harus diperjuangkan dalam menjalankan politik luar negeri,’’ kata Zainuddin.

Menyangkut pengungsi asal Sri Lanka yang belakangan berada di wilayah Indonesia setelah gagal mendarat di Australia, beberapa kalangan memang menilai Indonesia ‘’terlalu mengikuti’’ keinginan Australia. Di sisi lain, Departemen Luar Negeri RI berpandangan bahwa pihak pemerintah melakukan cara-cara yang persuasif bagi para pengungsi itu.

‘’Namun pandangan saya sebagai pengamat memang mendukung langkah DepluRI karena ini berkaitan dengan masalah kemanusiaan,’’ ujar Zainuddin.

Menyangkut masalah perubahan iklim (climate change), Zainuddin mendukung peran aktif Indonesia di pentas global. Namun dia mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa berjuang sendiri.

‘’Kita harus bersama-sama membangun kekuatan, misalnya di tingkat ASEAN untuk membuat global strategic partnership. Artinya, bersama-sama menyelesaikan persoalan perubahan iklim itu karena dana untukkebijakan iklim tersebut sangat besar,’’ tuturnya.

Peluang sebagai Penengah

Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI, Drs. Ramadhan Pohan, MIS, mengatakan, menyikapi eskalasi  isu-isu politik internasional yang sensitif  menyinggung agama, khususnya yang mengarah pada Islam, pasti yang pertama dilakukan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya adalah mengacu pada politik luar negeri yang bebas aktif.

‘’Kedua, tentu Indonesia harus lebih berperan lagi di fora-fora internasional, dari forum-forum yang ada, seperti ASEAN, G-20, PBB, dan OKI. Yang patut diperhatikan dalam hubungannnya dengan soal-soal isu internasional mengarah ke agama ini, maka Indonesia dapat berperan lebih aktif karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di seluruh dunia. Jumlah penduduk negara-negara Arab saja bila digabung penduduk muslimnya masih kalah dengan penduduk muslim di Indonesia,’’ ujar Ramadhan menguraikan.

Sedangkan mengenai diplomasi peradaban, semisal permasalahan Palestina, Ramadhan mengatakan bahwa Indonesia bisa mengambil peran lebih banyak dan penting. Yakni, sebagai penengah.

‘’Dari sisi kadar keagamaan, negara kita cukup baik. Negara kita termasuk   muslim yang moderat, pluralis. Kita tidak bertumpu pada satu ekstrimitas, kita berada di tengah-tengah. Artinya, Indonesia adalah negara yang  pluralis dan cinta perdamaian. Karena itu, kita memungkinkan menjadi penengah konflik di Palestina. Indonesia juga punya pengalaman-pengalaman internasional menengahi konflik-konflik, seperti di Kamboja dan Filipina,’’ paparnya.

Ramadhan juga menyebut penyelenggaraan Bali Democracy Forum yang membahas hubungan antara demokrasi dan pembangunan yang diikuti oleh 36 negara, Desember 2009. Selain membahas tentang demokrasi, forum itu juga membahas cara-cara demokrasi bisa sejalan secara bersama-sama dengan pembangunan..

‘’Pada isu-isu global lainnya, seperti isu perubahan iklim, Indonesia juga berperanlebih di sana, seperti menjadi tuan rumah konferensi perubahan iklim di Bali pada akhir tahun 2007 lalu. Cukup banyak peran yang sudah kita lakukan di luar negeri. Pelan-pelan kita bisa lebih menajamkan peran itu,’’ tuturnya.

Menyangkut masalah pengungsi Sri Lanka, Ramadhan mendorong pihak Departemen Luar Negeri RI dan instansi-instansi terkait untuk duduk bersama menyelesaikan masalah tersebut.  ‘’Jadi begini, kita sendiri kan kerepotan adanya pengungsi tersebut.  Kita ambil alih masalah ini karena kejadian ini di Indonesia, selain kita prihatin, di antara pengungsi Sri Lanka itu banyak anak-anak dan orangtuanya.’’

‘’Saya pikir kita menangani pengungsi itu sudah bagus. Sebenarnya tujuan akhir dari pengungsi Sri Lanka adalah Australia, sehingga Australia harus dilibatkan dan kita harus kerja sama dengan Australia. PBB melalui badan urusan pengungsinya (UNHCR) juga harus dilibatkan. Kita terlibat dalam masalah pengungsian juga sesuai dengan amanat dari Pembukaan UUD 1945 dan sila kedua dari Pancasila, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,’’ ujar Ramadhan menjelaskan.

Nanang R. Parlindungan I Jakarta

—————————————————————————-

PENDAPAT PENGAMAT LAIN

Syamsul Hadi, Ph.D.

Dosen Hubungan Internasional FISIP,

Universitas Indonesia, Depok.

PENDAPAT saya berkaitan dengan tantangan politik luar negeri Indonesia 5 tahun ke depan adalah Indonesia akan memerhatikan politik kawasan, yakni Asia Tenggara, karena Indonesia merupakan pemimpin informal di ASEAN sekaligus kekuatan paling berpengaruh di kawasan ini. Menteri Luar Negeri yang baru, Pak Marty Natalegawa, juga seorang yang sangat concern pada ASEAN.

Pada dasarnya ASEAN tetap menjadi basis regional bagi politik luar negeri Indonesia, meski telah jadi anggota G-20 yang cakupannya lebih luas dan lebih prestisius. Tapi untuk G-20 sendiri, Indonesia masih lebih pada memainkan citranya saja sebagai negara yang kembali tampil di pentas dunia setelah cukup lama terjungkal akibat krisis kenonomi. Keberhasilan bangkit lagi dan perekonomian yang mulai tertata membuat Indonesia percaya diri di dunia internasional.

Pada isu lain, sering kali timbul kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Saya menilainya sebagai sebuah kritik bagi Pemerintah Indonesia karena kita memang kurang serius dalam diplomasinya. TKI di luar negeri merupakan urat nadi perekonomian dan semacam tulang punggung keluarganya, serta sumber daya ekonomi bagi tempat tinggal mereka, yang umumnya berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggar Timur. Di tengah-tengah keberhasilan dalam menjalankan politik luar negeri, kita memang harus jujur. Politik luar negeri kita bukan hanya memperjuangkan citra, tapi juga memerjuangkan keberadaan roh kepentingan rakyatnya.

Pada tataran policy tentang perubahan iklim (climate change), Indonesia selalu ingin menjadi negara pelopor dalam kebijakan perubahan iklim. Hal ini salah satunya diperlihatkan dengan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)  Perubahan Iklim yang di Bali pada akhir 2007. Ironisnya, Kementerian Lingkungan Hidup anggarannya kecil. Anggaran Kementerian Lingkungan Hidup lebih rendah dari anggaran Pemerintah DKI. Kita masih berkutat pada diplomasi pencitraan. Kalau mau commit, maka mulailah melakukan serangkaian riset–riset, pencarian alternatif dan kelangkaan sumber daya panas bumi.

Lalu, untuk kasus pengungsi Sri Lanka, saya melihatnya lebih pada kepentingan Indonesia pada kerangka kelompok negara Selatan-Selatan dan kerja sama diantara negara-negara tetangga  Indonesia. Kita harus membantu semaksimal mungkin para pengungsi itu, tetapi jangan sampai menjadikan Indonesia terlalu terbebani. Kita harus menunjukkan, sebagai negara di kawasan Selatan-Selatan kepada negara di kawasan Utara-Utara (maju) bahwa Indonesia mau berbagi atas masalah negara lain yang ada di kawasannya.

———————————–

Drs. Zulfikar Ghazali

Pengajar Ilmu Politik, Departemen Ilmu Politik FISIP, Universitas Indonesia, Depok.

LIMA tahun ke depan, Pemerintah Indonesia tentu akan tetap  merapat ke negara-negara pemberi donor. Saya pikir politik luar negeri kita tidak banyak berubah seperti zamannya Menteri Hassan Wirajuda. Kebijakan luar negeri Indonesia masih seperti sebelumnya, yaitu  politik luar negeri untuk mendukung kebijakan pencarian dana. Sama seperti masa pemerintahan SBY-Jusuf Kalla.

Terkait berakhirnya KTT ASEAN Ke-15 di Thailand, bulan lalu, peran Indonesia di Asia Tenggara biasa-biasa saja. Beda dengan zamannya Presiden Soeharto ketika Indonesia lebih berpengaruh. Penyelesaian Kamboja, Indonesia ikut menyelesaikan. Persoalan di Filipina, kita ikut ke sana, ikut dalam perundingan. Sekarang ini tidak ada lagi. Tidak ada apa-apanya lagi. Bahkan dengan Malaysia saja kita ditakuti-takuti.

Walaupun masuk G-20, negara kita belum berpengaruh. Di G-20 itu Indonesia adalah negara yang kurang mampu dari sisi ekonomi. Lalu untuk apa kita masuk G-20? Mengurus diri saja belum benar, buat apa mengurus negara-negara lain? Artinya, bagaimana mungkin Indonesia bisa berperan optimal?

Sehubungan dengan permasalahan TKI) terakhir TKI di Malaysia, kebijakan  Menteri Tenaga Kerja-nya tidak jelas. Dari zamannya Pak Erman (Suparno) sudah tidak jelas. Tidak ada pelatihan untuk tenaga kerja yang akan diberangkatkan ke luar negeri. Menteri Luar Negeri yang baru, Bapak Marty Natalegawa, banyak bertugas di negara-negara yang sudah normal. Artinya, secara diplomatis sudah sehat. Tidak mengurusi  masalah-masalah TKI.

Soal pengungsi Sri Lanka yang ada di Banten itu, pemerintah kita coba-coba  memanfaatkan Australia. Padahal orang-orang  Australia itu kurang berkenan dengan orang Sri Lanka. Apalagi Australia memiliki kebijakan anti kulit putih. Bagi saya, kebijakan antarpemerintah atau government to government (G to G)-nya datar saja. Kita ikut kebijakan Australia saja. Tidak perlu ada gebrakan-gebrakan.

Sedangkan yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri tentang perubahan iklim (climate change), sebenarnya kita ini ditertawakan orang. Pembalakan liar (illegal logging) terus terjadi. Aparat terlibat kasus pembalakan. Bagaimana mau mengurus perubahan iklim? Secara verbal sepertinya kita bekerja, padahal di dalam negeri aparat kita tidak bekerja dan tidak terkoordinir. Aparat pemerintah bekerja sendiri-sendiri, apalagi dengan adanya otonomi daerah seperti sekarang. Mereka bekerja untuk masing-masing instansinya.

————————————-

Freddy B Tobing

Staf Pengajar Departemen Hubungan Internasional FISIP,

Universitas Indonesia, Depok.

Tantangan politik luar negeri Indonesia lima tahun ke depan tidak berbeda jauh dengan sebelumnya karena Pak Marty, sebagai Menteri Luar Negeri baru, sudah disiapkan oleh Menlu sebelumnya, Pak Hasan Wirajuda. Pengaruh Indonesia di lingkungan Asia Tenggara masih kuat karena cukup lama Indonesia punya peranan di lingkungan Asia Tenggara. Keikut sertaan Indonesia di G-20 adalah untuk pencitraan bangsa, memperlihatkan posisi bangsa ini di kancah dunia.

Gaung perubahan iklim (climate change) yang terus bergulir di dunia internasional menuntut konsistensi sikap Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Luar Negeri karena pada tataran verbal sikap Indonesia pada isu perubahan iklim cukup tinggi dan ini diperlihatkan lebih jauh lagi dengan menjadi tuan rumah konferensi perubahan iklim di Bali akhir 2007 lalu. Sementara di ranah nasional belum begitu terlihat.

Investor luar negeri menjalankan produksi perusahaannya masih dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Pemerintah kadang takut bila minta investor itu memakai teknologi ramah lingkungan, jangan-jangan mereka akan lari dari negara kita.

Soal nasib tragis TKI di luar negeri hingga kini masih sering terjadi. Tak hanya di Malaysia. Saya melihatnya justru lebih sebagai persoalan domestik negara yang harus ditangani terlebih dulu. Bukan masalah antarbangsa. Kebijakan menyangkut tenaga kerja harus diperbaiki, misalnya bagaimana Departemen Tenaga Kerja membuat kebijakan yang sesuai untuk memberangkatkan tenaga kerja ke luar negeri.

Kisah tragis yang kerap menimpa para TKI kita itu toh tidak terjadi pada tenaga kerja asal Filipina yang bekerja di negara lain. Mengapa demikian? Ya, karena kebijakan dari Departemen Tenaga Kerja Filipina yang tepat, sehingga tidak timbul masalah ketika bekerja di negara luar.

Lalu soal pengungsi Sri Lanka yang datang ke Indonesia, kita serahkan saja badan PBB urusan pengungsi (UNHCR). Indonesia hanya sebagai mediator saja. Kita memfasilitasi keberadaan para pengungsi tersebut. Sama seperti –ketika itu—pengungsi yang datang dari Vietnam, ya kita tampung di Pulau Galang.

Nanang RP

Sumber : Nasional – Tabloid Forsas / Edisi 8 – Desember 2009

‘’Hantu’’ yang Tak Bisa Dihindari

20 Februari 2010

UJIAN NASIONAL

Demi kualitas pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia tetap menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) tahun 2010, meskipun putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) telah melarangnya. Bagaimana sebaiknya menyikapi kontroversi ini?

Sugianto tidak cukup risau dengan kontroversi seputar pelaksanaan UN. Lelaki 42 tahun serta bapak dua anak yang masih menimba ilmu di sekolah lanjutan di Serdang Bedagai, Sumatera Utara (Sumut), ini yakin tujuan UN sangat baik.

‘’Karena pada prinsipnya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan istilah lain, ujian nasional menjadi patokan bagi sekolah dan siswa untuk meningkatkan kualitas pendidikan, juga agar siswa menjadi lebih giat belajar,’’ ujarnya.

Yang disayangkan, kata Sugianto menambahkan, pelaksanaan UN selama ini belum cukup disertai dengan peningkatan pelayanan pendidikan yang baik, apakah itu dari segi sarana dan prasarana penunjang pendidikan seperti sumber materi pelajaran, buku buku, juga alat-alat praktik laboratorium, khususnya di sekolah-sekolah terpencil.

Seperti Sugianto, orangtua pada umumnya pasti menginginkan anaknya rajin belajar dan lulus dari sekolahnya dengan nilai yang (sangat) memuaskan. Namun kadang anak juga merasa terbebani dengan target maupun standar tertentu.

Setidaknya itu yang diakui Arnold. Siswa sebuah SMK di Serdang Bedagai ini menilai UN tidak ubahnya ‘’hantu’’. ‘’Saya rasa pelaksanaan ujian nasional sangat berat untuk dihadapi, ditambah lagi dengan nilai standar yang tinggi untuk kelulusan seorang siswa. Itu bisa menimbulkan waswas, membuat kita stres sebelum mengikutinya,’’ tuturnya.

Kontroversi UN kembali mengemuka ketika pada 14 September 2009 lalu Majelis Kasasi MA menolak permohonan kasasi para tergugat (dalam hal ini Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan/BSNP).

MA menyatakan tidak menemukan adanya kesalahan penerapan hukum dalam putusan judexfactie (putusan sebelumnya) dan pengadilan tingkat banding juga menguatkan putusan tingkat pertama. Pengadilan menyatakan, pemerintah telah lalai memenuhi kewajiban dan hak warga yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan.

Dengan putusan MA atas upaya hukum kasasi yang diajukan Depdiknas dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 itu, bisa dikatakan UN yang selama ini diselenggarakan itu ‘’cacat hukum’’ dan selanjutnya dilarang untuk diselenggarakan. Pemerintah dianggap telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru, baik sarana maupun prasarana, hingga pemerintah diminta untuk memerhatikan terjadinya gangguan psikologis dan mental para siswa sebagai dampak dari penyelenggaran UN.

Praktisi hukum dari LBH Jakarta Nurkholis Hidayat pun berpendapat, jika UN dipaksakan diselenggarakan, maka pemerintah telah lalai dalam memenuhi hak asasi manusia, terutama hak atas pendidikan dan hak-hak anak. Amar putusan MA itu seharusnya secara konkret dilaksanakan pemerintah karena dalam proses pemeriksaan di persidangan didapati fakta dan bukti yang mengarahkan pemerintah lalai.

‘’Seharusnya langkah pemerintah untuk mengatasi kelalaian ini adalah mengganti orang-orang yang telah membuat UN melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak anak,’’ katanya.

Namun BSNP menilai putusan MA itu tidak memengaruhi penyelenggaraan UN pada tahun 2010. Oleh karena itu, pemerintah –dalam hal ini Mendiknas Mohammad Nuh— bertekad tetap menggelar UN untuk Tahun Pelajaran 2009/2010. Bahkan jadwal UN sudah dikeluarkan awal Desember ini.

‘’Kalau menuruti kemauan, maunya lulus tidak pakai ujian. Makanya walau agak berbeda, insya Allah UN tetap harus jalan dan para guru tetap harus menjalankannya,” ujarnya saat pidato pada Peringatan Ke-64 Hari Guru Nasional di Gedung Tenis Indoor Senayan, Jakarta.

Menurut Mendiknas, menghentikan UN bukan solusi untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia masih memerlukan UN untuk mendorong siswa agar memiliki kompetensi  tinggi, sehingga mampu bersaing di era globalisasi yang lebih kompetitif.

Karena itu, Mendiknas mengaku lebih tertarik untuk memperbaiki sistem UN agar tidak ada kecurangan dari pihak sekolah maupun pemerintah daerah yang hanya mementingkan pemenuhan target kelulusan siswa. ‘’Yang memperdebatkan UN itu bagaikan atlet yang belum siap bertanding. Lalu kapan kita bisa maju?’’ katanya.

Pernyataan tersebut kembali dipertegas M. Nuh saat kunjungan di Pekanbaru, 5 Desember lalu. Mendiknas juga menyerukan kepada gubernur, bupati/wali kota, sekolah, serta para guru agar tidak menjadikan UN sebagai eksperimen pembuktian kecurangan. Mereka bisa memasang target kelulusan 100 persen atau 90 persen. Tidak ada yang melarang. Sama seperti setiap orang punya target naik haji.

‘’Tidak ada yang melarang, tapi yang tidak boleh itu, untuk mencapai pergi haji itu pakai (cara) nakal,’’ kata Mendiknas dalam Silaturahmi Kerja Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Orwil Riau di Pekanbaru, seperti dilaporkan situs resmi Depdiknas.

Mendiknas juga menyatakan ada empat syarat  kelulusan. Pertama, siswa telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua, dinyatakan lulus oleh guru dan kepala sekolah berdasarkan penilaian aspek moralitas. Ketiga, lulus ujian sekolah. Keempat, lulus UN.

‘’Kalau empat-empatnya lulus, maka luluslah dia. Sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa UN satu-satunya (syarat), bukan,’’ kata M. Nuh menegaskan.

Dalam kesempatan ini, M. Nuh mengatakan bahwa Program 100 Hari-nya sebagai Mendiknas akan lebih fokus pada perampungan program sambungan internet untuk 17.500 sekolah di Indonesia, yang menjangkau semua tingkatan sekolah mulai SD hingga SMA.

Program lainnya yang jadi prioritas adalah merampungkan prosedur penentuan beasiswa bagi 20 ribu siswa lulusan tingkat SLTA. Program yang direncanakan bergulir mulai tahun 2010 hingga 2011 itu akan merangkul semua universitas negeri di Indonesia untuk memberikan beasiswa pada siswa berprestasi yang kurang mampu. Juga ada program pelatihan kepada 30 ribu kepala sekolah dalam bentuk pelatihan manajemen dan kepemimpinan.

Penyempurnaan dan Regulasi

Sikap Mendiknas soal UN tersebut disesalkan oleh Federasi Guru Independen Indonesia (FGII). Sekjen FGII Iwan Hermawan mengatakan, sikap Mendiknas atas nama pemerintah itu melanggar keputusan pengadilan setelah keluar keputusan MA yang menolak UN sebagai parameter standar. ‘’Seharusnya Mendiknas membicarakan lebih dulu  dengan pakar pendidikan, organisasi guru, dan unsur legislatif,” ujarnya.

Menurut Iwan, FGII menolak UN karena hingga kini pemerintah belum membuat standardisasi kepada sekolah serta kualitas guru. Meski demikian, pada prinsipnya Iwan setuju dengan pelaksanaan UN, namun namanya harus diganti. ‘’Materi ujian boleh dibuat dari pusat, namun untuk kebijakan kelulusan dinilai oleh masing-masing sekolah. Bila semua sudah dilaksanakan, tidak masalah digelar UN,” ujarnya.

Kenyataannya, kata Iwan menambahkan, sekolah di Indonesia belum secara menyeluruh memiliki dan memenuhi standar. ‘’Sekolah harus ada laboratorium kimia, fisika, bahasa, IPS, serta kualitas guru juga harus S1 dan bersertifikat.’’

Sementaraitu, pakar pendidikan sekaligus Direktur LSM Kajian Strategis Demokrasi dan Sosial (Krisis), Suwignyo Rahman, menilai Mendiknas perlu secepatnya mengeluarkan regulasi mengenai posisi UN.  ‘’Mendiknas sebelumnya menyampaikan bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa. Pernyataan tersebut seharusnya ditindaklanjuti dengan regulasi, entah itu dengan surat edaran atau surat keputusan menteri,’’ kata pakar pendidikan Suwignyo di Semarang, Sabtu (5/12), sebagaimana dilansir ANTARAnews.

Suwignyo mengatakan regulasi tersebut sangat dibutuhkan karena menjadi acuan bagi siswa dan masyarakat Indonesia, dan secara psikologis UN tidak lagi dianggap sebagai ‘’zombie’’ yang harus ditakuti.

UN tidak lagi sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa, namun kelulusan juga ditentukan oleh kepribadian dan akhlak siswa, keseharian siswa, prestasi siswa, dan tidak pernah membuat kesalahan fatal yang terpaksa harus dikeluarkan atau tidak dinaikkan.

‘’Pemerintah harus memberikan acuan (regulasi surat edaran misalnya) dan dan di tingkat lapangan dinas sekolah yang menentukan standar kelulusan yang juga mendasarkan kepada prestasi siswa, seperti prestasi yang dilihat dari minat bakat siswa,’’ ucapnya menjelaskan.

Dalam kesempatan ini, Suwignyo juga mempertanyakan UN yang akan digunakan sebagai pintu masuk ke perguruan tinggi sebagai pengganti Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN). ‘’Jika UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan, seharusnya Mendiknas menganulir keputusan UN sebagai pengganti SMPTN itu,’’ katanya.

Karena itu, Suwignyo menegaskan perlu ada pemetaan posisi UN, sehingga tidak membuat bingung dan membuat tegang siswa seperti tahun lalu. Jika UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan, tentu sekolah akan menilai UN adalah rutinitas yang dijalani setelah tiga atau enam tahun pembelajaran.

Sementara itu, berkaitan dengan UN, Setjen Depdiknas Dodi Nandika mengatakan, siswa yang tidak lulus pada UN tahun 2010 masih diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulangan. Ini merupakan salah satu respons atas perintah dalam putusan MA, selain perintah memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan serta guru sebelum menjalankan proses pendidikan yang  sudah dilakukan Depdiknas dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

‘’Dengan adanya ujian ulangan itu masih ada kesempatan bagi siswa jika gagal atau tidak lulus pada ujian tahap pertama,’’ kata Dodi.

Pada ujian ulangan itu, bukan berarti siswa yang tidak lulus UN tahap pertama tidak dijamin lulus pada ujian tahap kedua. Masih ada kesempatan untuk melakukan perbaikan sebelum yang bersangkutan harus mengikuti ujian Paket C. ‘’Ujian Paket C tetap ada karena itu terbuka untuk umum. Namun Paket C sebagai penjaga gawang terakhir bagi mereka yang tidak lulus UN setingkat SMA,’’ ujarnya menjelaskan.

Depdiknas, demikian Dodi, juga diperintahkan MA untuk meninjau kembali dan memperbaiki sistem pendidikan dasar secara umum dan itu sudah dilakukan dengan dikeluarkan undang-undang guru dan dosen, undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), juga undang-undang perpustakaan.

Dodi tidak menampik kritik bahwa selama ini Depdiknas masih banyak kekurangan dalam menjalankan pendidikan di Tanah Air. Namun yang penting, pemerintah bersedia memperbaiki kekurangan tersebut.

Solichin-Ahmad Rouf Qusyairi I Jakarta

Pandapotan Sinaga I Serdang Bedagai

Sumber : Nasional – Tabloid Forsas / Edisi 8 – Desember 2009

Potret Kesederhanaan Tak Lekang Waktu

20 Februari 2010

RUMAH MASAKECIL PRESIDENSBY

Jika kaki anda menjejak tanah pacitan, Jawa Timur –apakah untuk urusan dinas atau memang rekreasi– cobalah meluangkan waktu singgah di rumah masa kecil SBY di Kelurahan Ploso, Pacitan. Pintu rumah itu selalu terbuka lebar.

Tak ada yang berubah dari rumah joglo di pojok Jalan Gatot Subroto, Kelurahan Ploso, Kecamatan Kota Pacitan, Jawa Timur, itu. Semua masih tampak seperti aslinya. Rumah sederhana layaknya rumah penduduk di sekitarnya. Bahkan tidak jarang kini tampilannya sudah jauh kalah, bahkan benar-benar tidak sebanding, dengan bangunan-bangunan yang menancap di Kota Pacitan.

Di rumah joglo sederhana yang bercat kuning gading itu Presiden SBY menghabiskan masa kecilnya. Di rumah berarsitektur kuno yang minimalis inilah sejarah salah seorang putra terbaik bangsa diukir.

Beberapa kali Tabloid FORSAS mengunjungi rumah itu, namun kesan yang muncul tidak berubah. Potret kesederhanaan sebuah rumah kuno dengan luas sekitar 12 x 20 meter yang tetap tampak tertata rapi, bersih, dan terawat dengan baik.

Sekilas pandang dari luar, bahkan sempat muncul kesan rumah kuno itu tidak berpenghuni. Biasa-biasa saja. Namun begitu mendekat dan melangkah masuk, pemandangan yang indah telah menanti untuk menyambut siapa pun yang mengunjunginya, lalu dibuai dalam kesan.

Kunjungan pertama tabloid ini berlangsung pada pertengahan September 2009 lalu. Setelah mengisi buku tamu dengan menuliskan identitas: nama, alamat, dan komentar, Ibu Watini pun menyambut ramah. ‘’Saya bude-nya SBY,’’ ucap perempuan yang masih tampak bersemangat itu di usianya yang sudah 85 tahun.

Tidak banyak yang kami lakukan pada kunjungan pertama itu. Selain saksama mendengarkan penuturan Ibu Watini tentang masa-masa kecil orang nomor satu di republik ini, kami juga berkesempatan melihat langsung kamar tidur SBY ketika masih kecil. Sebuah kamar sederhana laiknya kamar rumah-rumah di desa dan berukuran hanya 1,5 x 2,5 meter.

Namun yang kami ingat betul dari kunjungan pertama yang cukup singkat itu adalah galeri foto bertuliskan ‘’Presiden Juga Manusia Biasa’’. Juga foto-foto SBY ketika masih remaja, bersama keluarga, hingga pada pelbagai kegiatan kepresidenan di dalan dan luar negeri. Semua tertata rapi.

Andi, petugas di rumah masa kecil SBY itu, menuturkan, Ibu Watini masih bersemangat melayani tamu jika menjelaskan kisah kesederhanaan SBY karena memang itulah yang sejatinya pernah terjadi. ‘’Walaupun sudah uzur, Ibu Watini masih penuh semangat,’’ tuturnya.

Kunjungan kedua berlangsung menjelang pertengahan Desember 2009. Pada kesempatan kedua ini, kami makin leluasa mengeksplorasi foto-foto di dinding kayu rumah itu dan lainnya.

Bisa dikatakan, di dinding-dinding itu perjalanan hidup SBY tergambar. Ada masa-masa remajanya hingga foto pernikahan SBY dengan Kristiani Herrawati, yang dilahirkan Yogyakarta pada 6 Juli 1952 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan suami istri Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Alm) dan Hj. Sunarti Sri Hadiyah tersebut.

Foto pernikahan itu ditempatkan di sebalah kanan pintu masuk ruang keluarga. Juga ada foto ayah dan ibu SBY –R. Soekotjo (Alm) dan Siti Habibah– pada sisi kanan dan kiri pintu masuk ruang utama. Bukti bakti dan penghormatan dari sang anak.

Foto-foto lain dalam berbagai kegiatan terpajang di dinding kayu. Terdapat pula foto lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973 ini ketika jam session bersama personel grup band-nya semasa remaja. Di foto itu terlihat juga Joko Darmanto, Soetopo, Soejito, serta teman-teman lainnya bermain musik semasa remaja. Di grup itu SBY adalah pencabik bass guitar.

Selebihnya adalah kesan keaslian dari rumah joglo yang kini sudah serasa menjadi galeri pribadi itu. Tak ada sentuhan modern di dalamnya.

Di ruang tengah, seperangkat meja dan kursi usang masih tidak beranjak dari tempatnya. Demikian juga plafon dari anyaman bambu yang menggantung di langit-langit rumah. Di ruang depan sebelah kiri terdapat kamar sempit yang tidak lain adalah kamar tidur masa kecil SBY seperti sempat kami lihat pada kunjungan pertama.

Pemandangan di kamar sempit itu masih tidak berubah. Di dalamnya hanya terdapat dipan (ranjang). Di kamar sempit itulah SBY kecil menghabiskan waktu untuk belajar dan beristirahat. Meski kini tidak lagi ditempati, namun dipan itu tetap setia di tempatnya.

Masih banyak kenangan lain tentang SBY yang terpatri di rumah tersebut, termasuk tingkah khas anak muda zaman itu. Joko Darmanto masih ingat betul, suatu saat usai belajar atau bermain musik di malam hari, karena lapar dan tak punya uang, dia dan SBY mengambil nasi tiwul tanpa sepengetahuan Ibu Watini.

‘’Iki mesti gaweane Joko (Ini pasti perbuatan Joko),’’ ucap Joko Darmanto, lalu tersenyum, menirukan perkataan Ibu Watini.

Nasi tiwul adalah nasi yang terbuat dari gaplek. Gaplek dibuat dari singkong yang dikeringkan, lalu ditumbuk menjadi tepung (glepung). Dari tepung itu dibuatlah nasi tiwul, nasi khas yang menjadi makanan favorit di Pacitan, terlebih bila dikombinasikan dengan lauk jatil (ikan laut yang digoreng dengan tepung singkong). Apalagi bila disantap bareng sambal dan sayur kalaan (sayur ikan hiu pedas).

‘’Dik Sus (panggilan akrab SBY kecil) orangnya nriman (menerima apa adanya), termasuk tiwul itu,’’ kata Endang Widyowati, sepupu SBY, mengenang.

Kesahajaan yang tergambar dari rumah ini rupanya terpancar pula dari sosok SBY dalam rentang waktu cukup lama, mulai dari Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang menjadi Presiden RI untuk periode lima tahun kedua.

Sebagai Presiden, tentu merehab rumah masa kecil itu tidak sulit dilakukannya. Beberapa pihak juga sudah mencoba menawarkan merenovasi rumah itu. Salah satunya adalah (kala itu) Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, yang kini menjabat Menteri Perhubungan, saat berkunjung ke Pacitan.

Freddy mengusulkan agar rumah masa kecil SBY itu direnovasi untuk dijadikan aset wisata. Pun demikian dengan beberapa pihak swasta maupun Pemkab Pacitan. Namun semuanya ditolak oleh SBY.

‘’Presiden SBY menginginkan, jika rumah itu direhab atau direnovasi, biarlah keluarga yang melakukannya,’’ kata Soejono, kakak ipar SBY.

Dika AWinarno-In Winarno-Samsul I Pacitan

Sumber : Ragam Tabloid Forsas / Edisi 8 – Desember 2009

INDONESIA, JANGAN LARUT!

8 Februari 2010

Kang Asep dan Perahu Karet Balaraja

8 Februari 2010

Mendengar perahu karet disebut, asosiasi ingatan kita bisa jadi langsung tertuju ke bencana banjir, tim rescue, aktivitas outdoor atau kegiatan di alam bebas seperti arung jeram yang belakangan sangat populer di kalangan profesional muda. Namun tahukah Anda di mana salah satu produsen lokal perahu karet itu?

Penelusuran Tabloid FORSAS pun tertuju pada sosok Asep Gana Kusuma, veteran pegiat alam Indonesia yang dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 15 Oktober 1963. Sejak 1997 Kang Asep, demikian panggilan akrabnya, memulai kiprah memproduksi perahu karet lokal dengan kualitas yang tidak kalah baik dengan produk internasional.

Di pabriknya yang berlabel CV Cengkok Jaya di Jalan Raya Serang Km 25, Balaraja, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Kang Asep menceritakan perjalanan menjadi entrepreneur di bidang produksi perahu karet ini. ’’Saya merintis usaha produksi perahu karet ini pada tahun 1997.

Pada waktu itu, saya masih menjadi konsultan aktif di salah satu pabrik perahu karet milik orang Korea. Orang Korea menjadikan saya konsultan karena mereka kebingungan saat melakukan proses pengeleman karena lem sulit merekat pada bahan karet,’’ ujar Kang Asep mengenang.

Selidik punya selidik, demikian Kang Asep menambahkan, ternyata lem sulit melekat akibat perbedaan suhu udara antara negara tempat lem dibuat dan Indonesia. Tantangan itu dijawab Kang Asep dengan berusaha meracik ulang lem tersebut dengan bahan lain hingga mempunyai daya rekat yang sangat tinggi. ’’Mulai saat itulah saya dipercaya sebagai konsultan dalam pabrik perahu karet itu,’’ tuturnya.

Roda bisnis dan jalan nasib seseorang terus berputar. Pabrik perahu karet milik warga Korea itu selanjutnya bangkrut. Merasa mendapatkan pengalaman dan ilmu soal keperahu karetan dari jabatan sebagai konsultan di pabrik orang Korea itu, Kang Asep lantas meneguhkan hati memulai usaha membuka workshop dibantu beberapa rekan dan pegiat alam.

Perahu karet perdana buatan Kang Asep dkk sukses diproduksi. Sosialisasi dan pemasaran terus dilakukan hingga kini perahu karet buatan Kang Asep dkk merambah ke berbagai pelosok negeri. ’’Meski kapasitas produksinya masih terbatas, namun perahu buatan kami telah menembus pasar nasional. Tentu ini bisa terjadi karena kualitas produk kami mampu bersaing dengan produkproduk internasional,’’ ujar Kang Asep, yang juga aktif dalam produksi acara ’’Bahenol’’ di Komedi TV itu.

Perahu karet dari Balaraja ini juga sering digunakan sebagai perahu andalan pada tiap event kejuaraan nasional (kejurnas) arung jeram yang digelar di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan life jacket produksi CV Cengkok Jaya juga pernah digunakan dalam pelatihan Rescue International di Bali beberapa tahun silam.

Pabrik perahu karet Kang Asep juga melayani berbagai jenis permintaan perahu karet dari konsumen, mulai dari banana boat, kayak impetable, lifer boat, roober boat, life jacket, dan lain-lain dengan harga yang relatif murah dibandingkan produk bermerek dari luar negeri.

Untuk perahu jenis lifer boat ukuran 390 cm untuk kapasitas 8 orang, misalnya, Kang Asep mematok harga Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah), sedangkan jenis roober boat dengan kapasitas 5 orang seharga Rp 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah) dan kapasitas 12 orang Rp 22.000.000 (dua puluh dua juta rupiah). Sedangkan untuk life jacket, Kang Asep mematok harga cuma Rp 125.000 (seratus dua puluh lima ribu rupiah).

Bapak empat anak dari seorang istri bernama Siti Nurhasanah itu menuturkan, sejauh ini omset produksi perahu karet CV Cengkok Jaya memang baru berkisar antara Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per bulan. Namun, dengan semangat dan tekad yang terus berusaha dinyalakan, Kang Asep yakin usahanya ini akan berkembang karena sejauh ini tidak ada cukup masalah yang berarti dengan bahan baku.

’’Kami berharap pihak pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun daerah, memberikan perhatian terhadap kegiatan usaha yang tengah kami lakukan ini melalui pembinaan dan kemudahan dalam mendapatkan kredit dari pihak perbankan. Semua itu penting untuk peningkatan produksi kami dan membuka lapangan pekerjaan,’’ kata Kang Asep, yang juga menganjurkan para pemimpin bangsa bisa memakmurkan Balaraja karena di Balaraja tersimpan berjuta kisah dan silsilah leluhur bangsa.

Perahu karet buatan Kang Asep dkk menggunakan bahan PVC Woven, sementara asesorisnya masih diimpor dari Korea. Proses produksi dan perakitan menggunakan teknologi mesin press. Padahal, demikian Kang Asep, ’’Produk Korea saja masih menggunakan teknologi hand-made (manual), sementara produk Cengkok Jaya Balaraja sudah menggunakan mesin press.’’ Kang Asep –yang juga dipanggil Abah Talen di lingkungan Ikatan Paranormal Banten itu— juga tidak sungkan membeberkan tips proses pembuatan perahu karet.

Menurut dia, pembuatan perahu karet tidak terlalu rumit, namun juga tidak cukup sederhana. Proses pembuatan perahu karet lazim dimulai dengan cutting atau pembuatan pola perahu yang akan di produksi berdasarkan pesanan ataupun stok pabrik. Setelah itu dilakuan proses pencucian atau pembersihan, yaitu membersihkan minyak dan kotoran pada bahan perahu dengan pembersih (cleaner) khusus. Setelah bersih, dilakukanlah pengeleman dasar dengan dua kali proses pengeleman.

Baru kemudian proses penyambungan, yaitu menyambungkan bahanbahan yang sudah dilem satu sama lain hingga membentuk pola perahu setengah jadi. Selanjutnya adalah pengepresan untuk lebih merekatkan bahan perahu dengan mesin press dibantu pemanas untuk hasil yang maksimal. Terus dilakukan penggabungan bagian per perahu hingga menjadi bentuk perahu yang utuh. Setelah bentuk utuh perahu didapat, dilakukanlah pembersihan sisa lem yang masih menempel. Perahu karet pun siap dipakai.

Uyus Setia Bhakti I Tangerang

Menjawab Tantangan Memori Biji Nyamplung

8 Februari 2010

WAHYUDI, LULUSAN CAMPUS ENTREPRENEUR PROGRAM (UGM – CIPUTRA FOUNDATION)

Setiap ciptaan Tuhan pasti punya makna dan manfaat. Banyak hal atau benda kita jumpai di alam bebas. Sepintas mereka dinilai kurang atau tidak bermanfaat, penghias alam semata. Namun bila dikaji dan diolah, ternyata manfaatnya besar, bahkan luar biasa berguna.

Pemikiran seperti itu yang disadari dan dikembangkan Wahyudi, 30 tahun. Lulusan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengembangkan potensi manfaat biji dari pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum L) yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia sebagai alternatif pengganti bahan bakar solar atau biodiesel.

Lulusan angkatan pertama Campus Entrepreneur Program (CEP) hasil kerja sama UGM dan Ciputra Foundation itu terkenang masa kecilnya di sebuah kampung di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia dan teman-temannya sering mencari biji nyamplung untuk dijadikan lampu. Saat itu listrik belum mengaliri desanya.

‘’Sejak kecil, di sela-sela membantu orangtua yang pegawai rendahan, hidup serba kekurangan, saya dan teman-teman sering bermain dengan biji nyamplung. Kami heran kenapa biji ini bisa dinyalakan dengan api. Dari situ saya mulai mencoba mengembangkan ide,” tuturnya kepada Tabloid FORSAS.

Berdasarkan pengalaman masa kecil tersebut, Wahyudi tertarik mengembangkan ide memanfaatkan biji nyamplung ketika mengikuti CEP. Dia meyakini CEP bisa memberinya peluang untuk mengasah pikiran sekaligus mendorongnya mengembangkan spirit berwirausaha dengan memanfaatkan segala sesuatu yang bernilai dan berdaya guna.

‘’Sangat sayang bila kita tidak dapat mengolah biji nyamplung itu menjadi bahan bakar alternatif yang sangat berguna karena untuk memperolehnya sangat mudah, tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Saya berusaha menggunakan salah satu hasil alam yang awalnya tidak banyak orang tahu untuk mengolahnya,’’ kata Wahyudi usai memberikan testimoni sukses di depan peserta pelatihan kewirausahaan di Jakarta yang diselenggarakan Ciputra Foundation.

Menurut Wahyudi, banyak yang diperolehnya selama mengikuti CEP dan yang paling terasa adalah spirit entrepreneur. ‘’Kemudian bagaimana agar kita memulai sesuatu usaha bisnis secara aman. Artinya, bagaimana kita mengkalkulasi risiko-risiko bisnis yang mungkin muncul di tengah-tengah kita menjalani bisnis.

Bagaimana kita lebih responsif memanfaatkan peluang dari sisi atau cara pandang yang berbeda, tidak seperti cara memandang peluang bisnis yang umum dilakukan oleh kalangan-kalangan pebisnis. Lalu peluang yang sudah diperoleh, kita kembangkan melalui serangkaian inovasi,’’ ujarnya menambahkan.

Lulus dari CEP, Wahyudi dan tiga temannya mulai mengembangkan biji nyamplung untuk menjadikannya bahan bakar alternatif pengganti solar. Mereka berusaha menciptakan hasil semaksimal mungkin dengan modal patungan. Tekad kuat dan kerja keras –termasuk riset– lebih dari setahun pun membuahkan hasil cukup gemilang. Mengolah biji nyamplung menjadi alternatif pengganti bahan bakar yang sudah ada.

Selain itu, demikian Wahyudi, sukses tersebut juga melibatkan peran serta masyarakat setempat untuk meningkatkan perekonomiannya. Wahyudi menuturkan, pada awalnya memang tidak mudah untuk mengajak masyarakat mau mengumpulkan biji nyamplung. Sebab di antara mereka ada yang berpikiran mengumpulkan biji nyamplung itu ‘’kurang produktif’’.

Setidaknya Wahyudi dan kawan-kawan butuh waktu tiga bulan untuk benar-benar mampu memberdayakan masyarakat setempat. Dari konsistensi melibatkan masyarakat tersebut, Wahyudi dan kawan-kawan akhirnya mampu mengumpulkan biji nyamplung 25 ton hingga 40 ton per pekan dari satu wilayah.

Mereka menghargai 1 kg biji nyamplung sebesar Rp 1.000. Dengan kata lain, total uang yang berputar di masyarakat bila mereka dapat mengumpulkan 25 sampai 40 ton per pekan adalah 25 sampai 40 juta.

Di Indonesia, berbagai regulasi telah dikeluarkan pemerintah dalam rangka mendorong penggunaan energi terbarukan sesuai dengan Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada tahun 2025, bahan bakar nabati (BBN) ditargetkan mampu memasok 5 persen dari kebutuhan nasional. Langkah kearah itu akan dimulai dari besaran 0,5 persen dari total konsumsi energi nasional pada tahun 2010.

‘’Riset kami atas bahan bakar alternatif ini sesuai dengan Peraturan Presiden untuk dapat menemukan energi bahan bakar nabati,’’ ujarnya menegaskan. Di Indonesia, pohon nyamplung sangat mudah didapat. Tanaman ini bisa ditemui di beberapa daerah pesisir, antara lain, di Alas Purwo, Kepulauan Seribu, Ujung Kulon, Cagar Alam Penanjung Pangandaran, Batu Karas, Pantai Carita Banten, Yapen (Jayapura), Biak, Nabire, Sorong, Fakfak, Halmahera, serta Ternate.

Pohon nyamplung dapat tumbuh pada ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Hasil penafsiran tutupan lahan dari citra satelit Landsat 7 ETM+ didapati, di wilayah pantai provinsi di seluruh Indonesia diperkirakan luas areal pohon nyamplung mencapai 480.000 hektare.

Nah, apabila dari luasan indikatif total hutan alam sebesar 10 persen saja nyamplung bisa tumbuh produktif dengan produktivitas biji per hektare sebesar 10 ton atau total produksi sebesar 500 ribu ton (setara dengan 225 juta liter biodiesel, 3,8 juta ton pupuk organik, 72 ribu ton pakan ternak, 18 ribu ton gliserin, dan 12 ribu ton bahan oleokimia lain), maka bisa didapat nilai total hingga Rp 5,02 triliun.

Potensi yang begitu besar itu membuat nyamplung layak diperhitungkan sebagai bagian dari ‘’identitas’’ energi nabati nasional Indonesia –sebagaimana India dengan biofuel methanol tebunya. ‘’Selain bahan bakar minyak pengganti solar, biji nyamplung juga memiliki manfaat lainnya, salah satunya menjadi pupuk organik,” ucap Wahyudi.

Nyamplung pun merupakan penghasil rendemen minyak mentah paling tinggi. Satu kilogram daging buah nyamplung mampu menghasilkan antara 0,5–0,7 liter minyak mentah. Sedangkan 1 kg daging buah jarak menghasilkan hanya antara 0,3–0,4 liter minyak mentah. Apalagi dengan keterbatasan teknologi di Indonesia saat ini, rata-rata hanya dihasilkan 0,2 liter minyak mentah dari 1 kg daging buah jarak.

Oleh karena itu, Wahyudi berharap peran serta pemerintah dalam bentuk kerja sama untuk menghasilkan biodiesel dari biji nyamplung itu sebagai alternatif pengganti bahan bakar solar.

Ronald Siahaan I Jakarta

Bali Deso Noto Prodjo

8 Februari 2010

H. MARYUDHI WAHYONO,SE,MM MENUJU KURSI BUPATI NGAWI (2010-2015)

Sukses menjalankan bisnisnya di Jakarta dan Surabaya, H. Maryudhi Wahyono,SE,MM, bertekad pulang kampung untuk membangun tanah kelahirannya, Ngawi, Jawa Timur.

Bali Deso Noto Prodjo. Kembali ke Desa Membangun Daerah. Tekad ini lah yang digenggam kuat Maryudhi ketika memutuskan maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Ngawi yang diagendakan berlangsung pada Mei 2010. Beberapa modal penting pun sudah digenggam.

Maryudhi adalah putra asli Ngawi, sehingga paham betul kondisi alam serta karakter masyarakatnya. Pemahaman ini sangat vital dalam proses membangun Ngawi demi kesejahteraan masyarakatnya. ‘’Selama ini Ngawi masih tertinggal dibandingkan tetangga-tetangganya, seperti Kabupaten Sragen (Jawa Tengah) dan Kabupaten Madiun (Jawa Timur),’’ ujar Maryudhi.

Menurut dia, salah satu jurus menuju masyarakat Ngawi yang sejahtera adalah dengan menggerakkan ekonomi kerakyatan. Sektor riil harus benar-benar ditata dan dikelola dengan baik untuk menciptakan peluang kerja, khususnya bagi masyarakat Ngawi. Dengan demikian, angka pengangguran dan kemiskinan di harapkan dapat dikurangi.

Selain itu, demikian Maryudhi, kebijakan Pemerintah Kabupaten Ngawi ke depan juga harus berpihak pada kepentingan masyarakat. ‘’Jika sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) di Ngawi diperhatikan secara serius, maka persoalan pengangguran secara perlahan dapat teratasi,’’ tuturnya menegaskan.

Potensi UKM yang selama ini sudah berkembang di Ngawi, antara lain, pembuatan tas anyaman plastik di Bringin, Padas, serta Karangjati. Juga ada usaha pembuatan keripik tempe di Sadang, Ngawi Purba, dan Prandon. Masih banyak lagi usaha kecil di tempat-tempat lain di wilayah Ngawi, namun semuanya masih perlu lebih diberdayakan dan dikembangkan.

‘’Banyak potensi UKM di masyarakat yang semuanya juga bergantung pada kebiajakan pemerintah. Masalahnya, apakah Pemkab sudah mempunyai perhatian yang cukup pada sektor ekonomi UKM ini?’’ kata Maryudhi.

Selain sektor UKM, potensi pertanian di Kabupaten Ngawi juga harus diperhatikan dan didukung penuh oleh kebijakan Pemerintah Daerah. Pemerintah Kabupaten Ngawi harus berani untuk mengambil kebijakan yang menjamin kelancaran sistem produksi bagi petani serta membuka akses peluang pasar. Latar belakang Maryudhi sebagai entrepreneur (wirausahawan) memungkinkan dia untuk membangun kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pihak swasta dari kalangan dunia usaha.

Tentu semua itu masih harus didukung konsep yang jelas dalam mendorong dan memajukan sektor pertanian di Ngawi. ‘’Dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Ngawi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan,’’ ucap Maryudhi.

Dia menambahkan, ke depan Pemerintah Kabupaten Ngawi harus lebih fokus dalam menentukan skala prioritas pada kebijakan pembangunannya. Tiap tahun harus ada orientasi dan target yang ingin dicapai dalam sasaran kebijakan pembangunan. Dengan demikian, secara bertahap dan terukur pula berbagai persoalan yang ada bisa teratasi.

‘’Jelas ini hanya bisa dilakukan dengan kebijakan yang fokus. Tentu kebijakan yang diambil harus sesuai dengan kondisi dan ke butuhan masyarakat Ngawi,’’ ujarnya menegaskan. Pemikiran dan tekad Maryudhi memberi perhatian lebih pada sektor pertanian jelas bukan tanpa alasan. Sebagai salah satu daerah penghasil padi, baik untuk Provinsi Jawa Timur maupun nasional, Ngawi dikenal sebagai masyarakat agraris karena lebih dari 70 persen penduduknya menggantungkan hidup dari sektor pertanian.

Bila Tuhan mengizinkan dan masyarakat memercayai Maryudhi untuk memimpin Kabupaten Ngawi minimal selama lima tahun ke depan (2010-2015), dia akan memfokuskan salah satu kebijakannnya pada peningkatan dan pembangunan sektor pertanian itu.

Di luar sektor UKM dan pertanian, layanan publik juga menjadi salah satu agenda yang akan diperjuangkan Maryudhi. Dia menilai, birokrasi (pemerintahan) harus mampu bergerak cepat merespons dinamika masyarakat yang juga kian cepat dan terbuka. Mengapa begitu? ‘’Karena saat ini telah terjadi pergeseran sistem dan tata nilai di masyarakat.

Masyarakat semakin sadar akan hak-haknya, baik dalam pemenuhan hak pendidikan, memperoleh layanan kesehatan, serta tersedianya lapangan kerja yang terbuka. Kondisi ini tentu menuntut pemerintahan yang responsif dan mampu menangkap setiap dinamika yang terjadi di masyarakat,’’ kata Maryudhi, yang juga menjabat Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Indonesia Bisa Provinsi Jawa Timur (2009-2014).

Menurut Maryudhi, layanan publik yang baik harus dibangun melalui sistem dan instrumen yang baik pula untuk melayani masyarakat. Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) secara optimal perlu dibudayakan, sehingga bisa menyokong layanan yang cepat dan memuaskan bagi masyarakat. Selain dengan memanfaatkan TI, demikian Maryudhi, layanan publik yang baik juga harus mampu memberikan kepastian pada tingkat layanan, baik menyangkut waktu maupun biaya.

Dengan demikian, masyarakat memiliki pemahaman tentang layanan yang diberikan oleh pemerintah. Agenda utama lainnya yang harus di selesaikan adalah layanan yang optimal di sektor pendidikan dan kesehatan, yang merupakan layanan mendasar bagi masyarakat.

Pemanfaatan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN dan alokasi dari APBD harus mampu memberikan layanan yang terukur bagi masyarakat, selain tentu saja layanan pendidikan dan kesehatan yang murah. Maryudhi meyakini, dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan, ke depan tidak akan ada lagi anak usia sekolah yang tidak dapat melanjutkan sekolah karena alasan faktor biaya. Juga tidak akan ada lagi warga miskin di Ngawi yang tidak mampu berobat ke rumah sakit maupun menikmati layanan kesehatan lainnya akibat faktor biaya.

Maka, kata Maryudhi, ‘’Kebijakan pada sistem layanan yang memberikan kemudahan bagi warga untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan itu harus dibuat. Melalui layanan pendidikan dan kesehatan yang layak, akan tercipta sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas, yang mampu bersaing di tengah culture (budaya) masyarakat yang semakin terbuka.’’

Modal dan Persiapan

Santun, namun tegas dan berwibawa. Itulah sosok Maryudhi. Pengalaman bisnis dan politiknya sudah mencukupi untuk memimpin Kabupaten Ngawi. Setelah menamatkan program sarjana (S1) di Fakultas Ekonomi Universitas Krisna dwi payana, Jakarta, pada 1992, Maryudhi bergabung menjalankan bisnis keluarga bersama kakaknya, H. Ir. Sunarto, di bawah bendera PT Fitria Antar Nusa Samudera (FANS) yang bergerak di bidang pelayaran.

Berkat kerja kerasnya, setahun ke mudian Maryudhi diangkat sebagai Direktur di PT FANS itu, merangkap sebagai Kepala Cabang Surabaya hingga sekarang. Namun, putra ke-8 dari 9 bersaudara dari pasutri almarhum H. Sangat Atmo widjojo dan almarhumah Hj. Kasiyem ini juga terus mengembangkan bisnisnya dengan mendiri kan PT Gesang Laras Samudera dan PT Gesang Laras Sejahtera, yang juga bergerak di bidang forwarding dan pelayaran.

Di PT Gesang Laras Samudera dan PT Gesang Laras Sejahtera ini Maryudhi adalah pendiri sekaligus Direktur Utama. Kesibukan menjalankan bisnis tidak membuat Maryudhi merasa kehabisan waktu. Dia masih berkesempatan aktif diberbagai organisasi yang masih sejalan dengan profesinya, di antaranya, aktif di INSA (Persatuan Perusahaan Pelayaran Niaga) Surabaya dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua (2003-2006 dan 2006-2010).

Selain di INSA, Maryudhi juga aktif di organisasi APBMI (Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia) Jawa Timur dan dipercaya sebagai Wakil Ketua APBMI Jatim (2006-2010). Sebenarnya di tubuh Maryudhi juga mengalir darah birokrat, yang diwarisi dari ayahnya, almarhum H. Sangat Atmowidjojo, mantan wedana di Kecamatan Mantingan, Ngawi.

Darah birokrat itu yang mengilhami Maryudhi juga aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan dan di partai politik. Dia berkiprah di bawah panji Partai Demokrat (PD) dan bergabung dalam kepengurusan DPD Partai Demokrat Jawa Timur.

Kesesuaian dengan latar belakangnya, Maryudhi pun dipercaya sebagai Ketua Biro UKM di DPD Partai Demokrat Jatim (2006-2008). Selain duduk di Biro UKM, Maryudhi juga dipercaya sebagai anggota Bappilu DPD Partai Demokrat Jatim (2006-2009). Berbagai persiapan untuk memuluskan pencalonan pada Pilkada Ngawi telah dilakukan Maryudhi.

Setelah penjajagan dan proses komunikasi politik, dia pun menjatuhkan pilihan untuk menggandeng H. Ir. Suratno –Direktur PDAM Ngawi yang juga mantan Camat Mantingan serta Kepala Bidang Anggaran Kabupaten Ngawi– sebagai Calon Wakil Bupati. Sebuah pilihan yang tepat. Latar belakang Maryudhi yang pengusaha sekaligus politisi menggandeng birokrat seperti Suratno, yang dikenal mempunyai visi dan integritas.

Pasangan yang mengikrarkan diri dengan nama MARS (singkatan dari Maryudhi Suratno) dan berslogan Bali Deso Mbangun Prodjo itu kini sudah mengantongi modal besar berupa dukungan dari organisasi PARADE (Perangkat Desa) seKa bupaten Ngawi yang memiliki jaringan hingga ke pelosok-pelosok desa.

Selain itu, komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh partai politik (parpol) juga terus dibangun. Maryudhi optimistis pencalonannya ini akan banyak didukung pula oleh berbagai elemen masyarakat demi mewujudkan Ngawi yang lebih baik dan sejahtera.

Setyo Utomo I Ngawi

Sumber : Profil Tabloid Forsas / Edisi 8 – December 2009

Survenov Terima Desakan Arus Bawah

18 Januari 2010

JELANG PEMILIHAN WALI KOTA PEMATANG SIANTAR

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara (Sumut) pada April 2010, bursa kandidat calon wali kota semakin memanas. Bahkan, menurut laporan media setempat, praktik money politics mulai dilakukan calon tertentu.

Survenov Sirait dan anggota Komisi I DPR RIPenasehat PP Forsas Ramadhan Pohan, MIS dalam kunjungan ke konstituen di Pematang Siantar pada tanggal 10 Oktober 2009

Fenomena itulah yang membuat Forum Harmoni Nusantara (FORSAS) prihatin. Namun FORSAS meyakini masyarakat Pematang Siantar sudah cukup dewasa dalam berpolitik serta menyadari bahwa yang dibutuhkan adalah pemimpin yang bisa menjamin kesejahteraannya, minimal lima tahun ke depan. Bukan kepentingan sesaat.

Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan demi kepentingan memajukan Kota Pematang Siantar dan menyejahterakan warganya, setelah melalui berbagai pertimbangan matang serta menampung keinginan kuat dari arus bawah, Pimpinan Wilayah (PW) FORSAS Sumatera Utara dan Pimpinan Daerah (PD) FORSAS Kota Pematang Siantar masih sangat menghendaki Ketua Umum PP FORSAS  Survenov Sirait maju sebagai kandidat Wali Kota Pematang Siantar pada Pemilihan Wali Kota Pematang Siantar periode 2010-2015 pada April mendatang.

FORSAS menilai dukungan kepada Candra Sakti Laurimba Saragih untuk maju sebagai calon wali kota yang diberikan dalam sebuah forum di Pematang Siantar, akhir November lalu, bukan harga mati. Artinya, siapa pun calon yang merasa mampu bakal didukung untuk bersaing secara sehat, fair, dan bersih. Namun segala kemungkinan masih terbuka sebelum dukungan akhir diberikan kepada calon tertentu.

Oleh karena itu, setelah mendengarkan dan mengapresiasi suara-suara arus bawah, Pak SS–sapaan akrab Survenov Sirait— menyatakan siap maju sebagai kandidat calon Wali Kota Pematang Siantar pada pemilihan April mendatang. Putra asli kelahiran Pematang Siantar 43 tahun silam itu bakal maju dan sebisa mungkin mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat.

‘’Hati nurani tidak bisa dibohongi,’’ ujar  SS di Jakarta, pertengahan Desember ini, tentang keputusannya maju sebagai bakal calon Wali Kota Pematang Siantar tersebut. 

Saat ini  SS  terbilang sebagai pengusaha muda sukses di Jakarta. Dia menginjakkan kaki di Jakarta sejak SMA, disambung kuliah hingga meraih gelar sarjana di ibu kota itu. Namun perhatian besar pada bona pasogit-nya tetap tinggi. Setiap ada  waktu  di antara kesibukan bisnis dan organisasi,  SS selalu pulang ke kampung halaman di Kampung Bantan Jalan Sumbawa Nomor 2, Siantar Barat untuk sungkem ke ibunya, Hajjah Maimunah Harahap. Sedangkan ayahnya,  Asman Balo Sirait sudah lama meninggal. Dia anak ke enam dari sembilan bersaudara dimana keluarga besarnya pun masih tinggal di Pematang Siantar, kota yang pernah diberi predikat ‘’Kota Pelajar’’ di Sumut.

Survenov Sirait dalam acara pengumpulan dana untuk korban Bencana Gempa Bumi Padang

Kesibukan  SS memang sangat padat. Selain bisnis –suami dari Hajjah Suzie Herlina yang memiliki 3 orang anak — dia juga memimpin FORSAS, ormas yang kini sudah memiliki jaringan di 25 provinsi di Indonesia dan aktif menyokong kebijakan-kebijakan pro-rakyat yang digulirkan oleh pemerintahan Presiden SBY.

Keputusan Pak Venov –nama pendeknya– maju dalam pemilihan orang nomor satu di Kota Pematang Siantar bukan tanpa konsekuensi. Betapa tidak, saat ini kariernya di jagat kewirausahaan di megapolitan Jakarta melesat maju. Tapi panggilan hati nurani membuat dia siap meninggalkan karier di Jakarta agar bisa memberikan kontribusi terbaik dalam membangun kampung halaman yang pernah melahirkan diplomat kelas dunia seperti sosok almarhum Adam Malik. 

‘’Sebagai pengusaha, meski banyak orang bilang sekarang saya sudah sukses, banyak relasi, dan kemungkinan untuk menjadi orang berpengaruh di Jakarta ini cukup terbuka lebar, tetapi hati kecil ini selalu membimbing saya untuk bisa membangun kota tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Siapa sih orang yang tidak mau membangun kampung halamannya sendiri?’’ tutur Pak Venov.

Apalagi, ujarnya menambahkan, dia melihat pembangunan di Kota Pematang Siantar sudah mismatch. Padahal Pematang Siantar itu sejatinya dinamis, barometer perkembangan kota nomor dua di Sumut setelah Medan. Namun identitas itu kini serasa tidak lagi menjadi milik Pematang Siantar.

‘’Asal tahu saja, sejak dulu Siantar itu selalu bersaing untuk bisa menjadi lebih unggul dengan Kota Medan. Second opinion dari Siantar selalu diminta oleh Pemerintahan Provinsi di Medan apabila timbul aneka isu di Sumatera Utara,’’ kata  SS menjelaskan.

Dia lalu menyoroti dampak pembangunan yang menghilangkan ciri-ciri khas yang pernah menjadi identitas Kota Pematang Siantar. ‘’Sekarang ini di pusat kota dibangun mal-mal. Lantas apa bedanya dengan kota-kota lain? Udara kota yang dulu sejuk dan membuat kita bisa berjam-jam menikmati keadaan kota, kini mulai agak panas. Ciri khas kota yang unik di tahun tujuh puluhan, yaitu banyaknya pelajar yang beriringan naik sepeda ke sekolah, kini tidak ada lagi. Seolah musnah.’’

‘’Ingatlah Kota Kyoto di Jepang. Walaupun Negeri Sakura itu sudah merupakan negara maju, akan tetapi ciri khas, habits, dan adat kebiasan tetap dipertahankan. Kyoto menjadi icon bagi Jepang sebagi kota yang mampu melestarikan peninggalan leluhur mereka,’’ ucap  SS.

Dia menegaskan, menuntut ilmu hingga menjadi sarjana di Jakarta adalah ikhtiar untuk bisa memberikan kontribusi bagi Kota Pematang Siantar. Saat kuliah pun dia sudah ingin secepatnya lulus, lalu pada saat yang tepat bisa men-darma bakti-kan ilmu yang dimiliki untuk bona pasogit-nya.

‘’Makanya, pada kesempatan yang tepat ini, di hadapan wartawan saya mengimbau kepada para perantau Siantar yang berhasil di mana pun untuk sesegera mungkin kembali membangun kota yang kita cintai bersama. Benar apa yang dicanangkan oleh mantan Gubernur Sumatera Utara Mayjen (Purn) Raja Inal Siregar kurang lebih dua dasawarsa lalu: Marsipature hutana be. Bangunlah kota kita selagi kita mampu. Tidak ada yang bisa membangun kampung halamannya dengan tulus ikhlas dan tanpa pretensi selain putra daerahnya sendiri,’’ ujar  SS menegaskan.

Selain  SS, sejumlah nama lain sudah meramaikan bursa kandidat wali kota, baik yang diusung partai politik atau lewat jalur perorangan. Antara lain Dr. Ria Telaumbanua,  Ir. Marhum Sipayung  dan H. Barkat Syah, serta incumbent Wali Kota Ir. RE Siahaan.

A. Effendi Rangkuti I Siantar

Sumber : Nusantar Tabloid Forsas / Edisi 8 – Desember 2009

Minimalkan Dampak Pemanasan Global

18 Januari 2010

‘’INDONESIA MENANAM’’ DI SIMALUNGUN & PEMATANG SIANTAR

Bocornya lapisan ozone diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kerusakan di bumi. Jika dalam kurun 70 tahun ke depan kerusakan ozone semakin parah, kondisi itu berpotensi memunculkan petaka di planet bumi. Kebocoran lapisan ozone jelas memengaruhi faktor suhu karena sinar matahari akan langsung membakar bumi.

Program ‘’Indonesia Menanam’’ dengan slogan One Man One Tree  (Satu Orang Satu Pohon) di Indonesia merupakan salah satu ikhtiar mengantisipasi ancaman petaka akibat kebocoran lapisan ozone tersebut. Untuk mendukung program ini, pada hari Jumat (4/12) lalu, Polres Simalungun bekerja sama dengan Kehutanan dan Perkebunan setempat melaksanakan kegiatan penanaman pohon di wilayah kerja Polres Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

Acara diawali dengan penyerahan bibit oleh Wakapolres Simalungun, Kompol R. Budiman Damanik, SH,MH, Wakil Ketua Bhayangkari Polres Simalungun Ny R.B. Damanik, serta Kepala Dinas (Kadis) Kehutanan Ir. Amran Sinaga, Plt. Kadis Pertanian Hamdan Nasution, kepada perwakilan ibu-ibu anggota Bhayangkari dari seluruh Polsek sejajaran Polres Simalungun. Selanjutnya kegiatan menanam pohon pun dilakukan.

Dalam kesempatan ini, Wakapolres Simalungun Kompol R. Budiman Damanik, SH, MM, mengatakan, kegiatan menanam pohon ini merupakan suatu upaya untuk mengurangi dampak pemanasan global yang saat ini tengah melanda berbagai kawasan di dunia.

Sedangkan Kabag Bina Mitra Polres Simalungun, Ramli Sirait yang didampingi Kapolsek Serbelawan AKP Edison Siagian, menjelaskan, kegiatan menanam pohon ini dilaksanakan di seluruh wilayah kerja Polres Simalungun. Disediakan 600 batang bibit yang terdiri dari berbagai jenis pohon.

Menjamin Kesejukan Kota

Sementara itu, ‘’Indonesia Menanam’’ juga digalakkan di Kota Pematang Siantar. Kegiatan lapangan menanam pohon yang diprakarsai oleh Polresta Kota Pematang Siantar mendapatkan sambutan positif dari seluruh elemen masyarakat. Kegiatan menanam pohon yang bertujuan untuk menyelamatkan bumi dari bahaya pemasanan global itu dilaksanakan Muspida Kota Pematang Siantar bekerja sama dengan PT STTC Pematang Siantar.

Lokasi penanaman dilakukan di areal Kelurahan Tanjung Pinggir, Kecamatan Siantar Martoba. Di lokasi ini ditanam tidak kurang 1.000 batang pohon mahoni.

‘’Selain mengantisipasi ancaman pemanasan global, program menanam pohon ini juga merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi Kota Pematang Siantar yang dikenal sebagai kota berhawa sejuk,’’ tutur Kapolresta Pematang Siantar AKBP Fatori.

Wali Kota Pematang Siantar Ir. R.E. Siahaan yang diwakili Sekretaris Daerah (Sekda Drs. James Lumban Gaol mengatakan, pihaknya menyambut baik pelaksanaan kegiatan penanaman pohon ini. Dia berharap program itu mampu menjadi contoh bagi yang lain, khususnya bagi masyarakat untuk menyukseskan program nasional One Man One Tree.

Direktur PT. STTC Kota Pematang Siantar, Edwin Bingei Purba Siboro, mengingatkan bahwa kelestaraian lingkungan sangat dibutuhkan. Makhluk hidup tanpa oksigen tidak akan mampu untuk bertahan hidup.  ‘’Karena oksigen itu berasal dari pepohonan, maka masyarakat harus menanam pohon sekaligus memeliharanya dengan baik,’’ ujarnya saat menandai awal kegiatan penanaman pohon ini di sekitar Terminal Horas Tanjungpinggir.  

M. Said Nasution I Simalungun

Sumber : Nusantara Tabloid Forsas / Edisi 8 – Desember 2009